Rabu, 24 Februari 2010

Usaha Mengumpulkan Poin Pahala Sebanyak-banyaknya


‘An Abi Dzarin qola, qola li Rosulullohi SAW “ya Aba Dzar la-an tagh duwa fa ta’al-lama ayatan mi kitabillahi khoirun la ka min an tushol-liya miatan rok’atin , wa la-an tagh duwa fa ta’al-lama ba ban minal ‘ilmu ‘umila bi hi aw lam tu’mal khoirun laka min an-tushol-liya alfa rok’atin”

Riwayat Hadits Sunan Ibnu Madjah juz 1 hal.79

Makna Bacaan hadits di atas sebagai berikut : Dari Abi Dzar berkata, bersabda kepadaku (siapa) Rosulullohi Shol-lallohu ‘alaihi wa salam “Hai Aba Dzar niscaya jika suatu pagi engkau belajar satu ayat dari Kitabillah (Al-Qur’an) maka itu lebih baik bagimu daripada engkau (melakukan) sholat seratus rokaat, dan niscaya jika suatu pagi belajar satu bab dari ilmu (sunah / hadits), yang sudah diamalkan atau belum diamalkan, maka itu lebih baik bagi daripada engkau (melakukan) sholat seribu rokaat.

Saudara,

Begitu besar “iming-iming” pahala yang sudah Alloh janjikan bagi hambanya yang sanggup giat belajar mendalami kalamulloh, ilmu agama Islam Al-Quran dan Al-Hadits.

Bayangkan , dengan belajar satu ayat Al-Quran saja pahalanya lebih baik daripada sholat 100 rokaat. Belajar yang dimaksud disini tentu bukan hanya sekedar belajar membaca, namun justru yang tidak kalah pentingnya adalah belajar memahami kandungan maknanya, sehingga mendapatkan pengrtian sebagai dasar berkeyakinan.

Terlebih belajar ilmu hadits satu bab saja maka poin pahala yang dapat dikumpulkan sudah melebihi pahalanya orang mengerjakan sholat 1000 rokaat. Subhaanalloh

Yang lebih menyenangkan bagi kita, bahwa pahala itu sudah kita dapatkan meskipun kita baru mengaji dan belum mengamalkan. Belum diamalkan saja sudah besar pahalanya apalagi kalau sudah diamalkan.

Yang dimaksud jumlah “satu ayat Al-Quran” , insyaAlloh sudah jelas karena ayat-ayat dalam Al-Quran sudah diberi nomor urut. Sedangkan pengertian jumlah satu bab ilmu hadits adalah satu matan / isi sebuah hadits sebagaimana yang kita tayangkan di atas, adalah satu bab hadits, panjang pendek nya isi hadits tetntu sangat bervareasi.

Mengapa kita perlu mengumpulkan pahala yang sebanyak-banyaknya?

Ya, karena pahala adalah nilai kebaikan yang menjadi penentu beratnya hisaban / timbangan amal di akhirat kelak. Dengan ditimbang, maka seseorang akan dapat diketahui mana yang lebih berat amalan baik (pahala) ataukah dosanya.

Amal sholih / kebaikan meskipun kecil timbangannya akan terlihat hasilnya demikian juga amalan jelek / dosa.

Dengan mengaji / belajar ilmu agama maka pahala yang didapatkan begitu besar.

Apalagi dalam kenyataan selama ini jarang kita menghitung berapa jumlah ayat atau jumlah hadits yang kita kaji perdalam dalam satu kali sesi di pengajian majelis taklim, tentu kita berharap tabungan pahala yang akan kita petik di akhirat makin lama makin membesar.

Sangat sayang dan merugi rasanya apabila peluang yang sangat baik ini, di kala kita masih sehat diberi umur panjang tetapi tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk belajar ilmu agama.

Orang yang merugi adalah mereka yang tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.


Sumber :

http://binanurani.com/mendapatkan-poin-pahala-yang-sangat-banyak/

22 Maret 2009

Sumber Gambar:

http://i443.photobucket.com/albums/qq152/karno_photo/Amalan-Ringan-Pahala-Besar-.jpg

Hilangnya Pahala Sedekah


Imam Ibnu Katsir mengatakan,"Dalam ayat diatas Allah memberikan informasi bahwa pahala sedekah itu dapat hilang disebabkan karena diungkit-ungkit dan tindakan berupa menyakiti orang yang diberi sedekah setelah sedekah diberikan. Jadi, dosa mengungkit-ungkit dan menyakiti itu menyebabkan hilangnya pahala sedekah."

Beliau kemudian berkata,"Artinya janganlah kalian membatalkan pahala sedekah kalian dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya, sebagaimana tidak bernilainya sedekah orang riya. Orang yang riya adalah yang menampakkan sikap dihadapan orang lain bahwa dia ikhlas dalam beramal, padahal maksud sebenarnya adalah agar dia dipuji oleh orang lain atau agar tenar dengan sifat-sifat terpuji sehingga banyak orang yang mengagumi. Atau agar disebut sebagai orang dermawan dan maksud-maksud keduniawian lainnya. Orang yang riya tidak memiliki perhatian untuk taat kepada Allah, mencari ridha-Nya dan mengharap pahala-Nya yang berlimpah. Oleh karena itu, Allah berfirman yang artinya, "Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir." (QS. Al-Baqarah:164).

Imam Ibnu Katsir juga menambahkan "Hujan tersebut meninggalkan batu besar tadi dalam keadaan kering mengkilat tanpa ada satupun debu diatasnya, bahkan seluruh debunya hilang. Demikianlah amal orang-orang yang riya, padahal amal tersebut hilang dan lenyap di sisi Allah meskipun terlihat memiliki amal dalam pandangan manusia. Namun amal tersebut tidaklah lebih bagaikan debu." (Tafsir Ibnu Katsir 1/246).

Dalam tafsirnya, Ibnu As-Sa"di mengatakan"Karena sifat kasih sayang dan lemah lembut yang Allah miliki, Allah melarang hamba-hamba-Nya menghapus pahala sedekah mereka dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya. Sehingga dalam ayat ini terdapat dalil bahwa menyakiti dan mengungkit-ungkit suatu pemberian itu akan menyebabkan batalnya pahala suatu sedekah. Ayat diatas juga dapat dijadikan dalil bahwa amal kejelekan dapat menghapus amal kebaikan. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, "Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak menghapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (Al-Hujurat:2).

Sebagaimana kebaikan itu dapat menghilangkan kejelekan, maka amal kejelekan pun dapat menghapus amal kebaikan yang semisal dengannya. Ayat di atas ditambah dengan ayat lain yang artinya, "Dan janganlah kamu merusak amal-amalanmu."(QS. Muhammad:33). Ayat ini merupakan dalil yang berisi anjuran untuk menyempurnakan dan menjaga amal dari segala sesuatu yang merusaknya agar amal tersebut tidak hilang sia-sia.

Kemudian beliau mengatakan maksudnya meskipun kalian pada awalnya bermaksud bersedekah dengan mengharap wajah Allah, namun gangguan dan mengungkit-ungkit itu tetap membatalkan pahala amal kalian bagaikan amal orang yang pamer, orang yang tidak menginginkan dengan amalnya itu keridhaan dari Allah dan kenikmatan di akhirat.

Amal karena riya tidaklah disangsikan adalah amal yang tertolak sejak awalnya, karena syarat diterimanya amal adalah dimaksudkan untuk mengharap ridha Allah semata. Sedangkan amal orang yang riya pada hakikatnya, adalah beramal untuk manusia bukan untuk Allah. Oleh karena itu, segala amalnya akan percuma dan usahanya sia-sia.

Permisalan yang tepat untuk orang ini, adalah batu keras dan mengkilat. Di atas batu tersebut terdapat debu, kemudian turunlah hujan yang deras sehingga tidak tersisa satupun debu diatasnya. Demikianlah permisalan orang yang beramal karena riya. Hatinya keras dan kasar bagaikan batu. Sedangkan sedekah yang dia lakukan atau amal shalihnya yang lain, laksana debu diatas sebuah batu.

Orang yang bodoh disamakan dengan keadaan batu itu. Ia akan beranggapan bahwa batu tersebut adalah tanah subur yang cocok untuk ditanami, akan tetapi ketika keadaan sebenarnya dari batu terungkap dengan hilangnya debu tersebut, maka nyata sudah bahwa amal orang tadi adalah tak ubahnya dengan fatamorgana. Sesungguhnya hatinya tidaklah cocok untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman-tanaman. Bahkan riya yang ada dalam drinya serta keinginan-keinginan tercela lain, mencegah untuk dapat mengambil manfaat dengan amal yang dilakukan.

Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa mereka tidak mampu memanfaatkan sedikitpun amal yang telah mereka lakukan. Hal ini dikarenakan, mereka meletakkan amal tidak apada tempatnya dan menjadikan amal tersebut untuk makhluk yang semisal dengan mereka, yang tidak dapat mengatur bahaya dan manfaat untuk mereka.

Mereka telah berpaling dari beribadah kepada Dzat yang ibadah tersebut mampu mendatangkan manfaat untuk mereka sendiri. Oleh karenanya, Allah palingkan hati mereka dari hidayah. Mengingat hal tersebut, Allah mengakhiri ayat diatas denagn firmannya, yang artinya,"Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Lihat tafsir As-Sa"di,hal 113-114)

Pesan yang Terkandung

1. Amal kejelekan mampu membatalkan pahala amal kebaikan.

2. Allah menganjurkan orang-orang yang beriman untuk menjaga dan menyempurnakan amal dari segala hal yang mampu merusaknya.

3. Mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti orang yang diberi sedekah dan riya, merupakan penyebab terhapusnya pahala sedekah.

4. Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti orang beriman, dan orang yang pamer adalah orang yang dekat dengan kekafiran atau kufur denagn nikmat yang Allah berikan. Wallahu a"lam.

Sumber:

Majalah Swaraquran Edisi N0. 3 Tahun ke-6, hal 16-19.

http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/02/17/hilangnya-pahala-sedekah/, dalam :

http://www.pengusahamuslim.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/172-hilangnya-pahala-sedekah.html

26 Septembet 2008

Sumber Gambar:

http://wb7.itrademarket.com/pdimage/09/1023109_resizeofinvestasipahala.jpg

Multi Level Pahala

Tahukah kita jika dalam dunia bisnis ada sistem Multi Level Marketing (MLM)? Maka di sisi Allah, kita pun memiliki peluang untuk mengikuti sebuah sistem yang kurang lebih sama dengan MLM tersebut. Apakah itu?

Sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu ingat bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk beribadah dan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Bukan semata untuk mengejar pahala, namun anggap saja pengetahuan kita tentang pahala ini adalah iming-iming 'bonus' dari Allah SWT agar kita lebih bersemangat dalam menjalankan perintahNya.

Lalu, apakah itu yang katanya sama dengan MLM? Ia adalah yang disebut dengan MLP, atau Multi Level Pahala. Apakah MLP? Pasti semua pernah mendengar bahwa ada 3 amalan manusia yang pahalanya tidak akan terputus hingga yaumul akhir. Ya, ternyata 3 amalan inilah yang termasuk ke dalam sistem MLP atau Multi Level Pahala. Kok bisa?

Mari kita tengok kembali ilmu tentang 3 amalan manusia yang pahalanya akan terus mengalir hingga yaumul akhir. Pertama, ilmu yang bermanfaat. Seseorang yang berilmu, jika dia mengamalkan dan 'menurunkan' ilmu yang dimilikinya kepada orang lain, ketika dia meninggal, maka ia akan tetap menerima pahala dari ilmu yang pernah diamalkannya tersebut.

Contoh, si A pandai berhitung, lalu ia mengajar orang lain cara berhitung. Jika orang yang diajarinya itu mengamalkan ilmunya (berhitung), maka dari amal orang itu, si A mendapatkan pahala secara tidak langsung dari sisi Allah SWT. Lalu, orang itu mengajari orang lain berhitung, dan seterusnya, hingga turun temurun dan tak terhitung lagi jumlah orang yang belajar berhitung dari 'murid-murid' si A.

Bayangkan para ulama jaman dahulu yang mengajari murid-muridnya mengaji dan sebagainya, hingga sekarang ilmu tersebut sampai kepada kita lewat downline-downline mereka. Tak dapat dibayangkan sudah berapa banyak pahala yang para ulama tersebut dapatkan dari ilmu mereka yang bermanfaat dan diamalkan hingga turun temurun itu.

Itulah mengapa ilmu yang bermanfaat dapat menjadi sebuah peluang bagi kita untuk mendapatkan Multi Level Pahala dari sisi Allah SWT. Namun ingat, masalah pahala adalah mutlak Allah yang menentukan, niat kita tetaplah harus murni karena Allah dan beribadah kepadaNya semata.

Kedua, amal jariyah. Apabila kita ikut 'menyumbangkan' sesuatu untuk membangun sarana dan prasarana demi kepentingan agama, maka pahala dari amalan tersebut akan terus mengalir hingga yaumuddiin. Mengapa?

Misalkan kita mewakafkan sepetak tanah untuk membangun sebuah mesjid. Sedikit atau banyak, besar atau kecil. Tatkala mesjid itu dipergunakan oleh orang-orang untuk shalat, maka pahalanya akan mengalir terus kepada kita. Pun, ketika kita sudah tidak ada di dunia ini lagi.

Ketiga, anak yang shaleh. Siapa yang tidak menginginkan anak yang shaleh? Ketika di dunia, anak yang shaleh akan senantiasa berusaha membahagiakan hati orangtuanya. Anak yang shaleh akan senantiasa berusaha untuk menghindari dari menyakiti hati kedua orangtuanya. Anak yang shaleh, akan meletakkan kebahagiaan kedua orangtuanya di atas kebahagiaan dirinya sendiri. Anak yang shaleh, setelah kedua orangtuanya meninggal, akan selalu mendo'akan kebahagiaan orangtuanya di sisiNya.

Berbahagialah para orangtua yang memiliki anak yang shaleh, yang dapat membahagiakan mereka di saat mereka tua, yang dapat memelihara mereka di saat mereka renta, yang dapat menentramkan hati mereka di saat usia mereka senja. Berbahagialah para orangtua, yang memiliki anak yang selalu menjaga hati dan perasaan kedua orangtuanya. Berbahagialah para orangtua, yang berhasil mendidik dan melahirkan penerus di dunia yang akan selalu mendo'akan mereka ketika mereka sudah berada di alam kubur hingga akhir jaman. Karena anak yang shaleh, juga akan melahirkan anak-anak yang shaleh, dan seterusnya, yang tidak akan terputus dari rahmat dan cinta Allah SWT.

Semoga, kita semua dapat memelihara ketiga amalan di atas. Aamiin.

Sumber:
Meyla Farid
http://kotasantri.com/pelangi/jurnal/2009/03/23/multi-level-pahala
23 Maret 2009

Pahala yang Abadi

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan (orang tuanya).”
Sungguh sangat luar biasa kandungan hadits tersebut, yang mensiratkan bahwa meskipun usia manusia itu terbatas, akan tetapi bisa mendapatkan pahala yang abadi dan tanpa batas, disebabkan oleh amal perbuatannya yang baik. Salah satunya adalah shadaqah jariyah atau wakaf, baik dalam bentuk wakaf benda yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, atau benda yang bergerak, seperti kendaraan atau wakaf uang atau yang lebih dikenal dengan “wakaf an-Nuqud” atau “cash wakaf”. Kenapa pahala wakaf itu bersifat abadi? Karena orang yang berwakaf (wakif) telah merelakan harta yang diwakafkannya itu, bukan untuk kepentingan dirinya secara fishik material, akan tetapi untuk kepentingan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah SWT. Secara sadar dan sengaja, orang yang berwakaf telah melepaskan kepemilikannya (milkul adamiey) dan kepemilikannya langsung diberikan kepada Allah SWT (milk-Allah).

Sejarah dakwah telah membuktikan, bahwa wakaf telah berperan besar dalam membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan usaha-usaha sosial lainnya. Dan khusus mengenaik wakaf uang, banyak sasaran yang dapat dicapai, seperti dikemukakan oleh A.A. Mannan, yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh, antara lain sebagai berikut:

1. Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2. Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk kebaikan-kebaikan yang berkaitan dengan keluarga.
3. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.
5. Menciptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6. Membantu pengembangan Social Capital Market.
7. Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Karena itu, mari kita sambut pahala yang abadi ini dengan mewakafkan sebagian dari harta yang kita miliki. Semoga. (zar)

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Sumber :
Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
(Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional)
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/456-pahala-yang-abadi.html
15 April 2008

Pahala Orang Yang Syahid Berperang di Jalan Allah SWT

Assalamua'alaikum

Soal:

Ana mau tanya ustad,apakah sama pahala orang yang syahid karena berperang di jalan Allah SWT dengan syahid selain berperang di jalan Allah SWT Jazzakumullah khoir.

Wassalamua'alaikum

"allais"


Jawab:


بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد؛

Wa’alaikum salam

Bisa sama bisa juga tidak. Jika yang syahid tadi benar-benar ikhlas dalam berjihad, dan memenuhi semua syarat jihad fi sabilillah, maka ia akan mendapat pahala yang sangat besar.

Dengan mengingat, bahwa jihad tidak hanya dengan berperang, tapi bisa dengan menegakkan hujjah terhadap Ahlul Batil lewat Al Qur’an, seperti yang dilakukan oleh para ulama dan thullaabul ’ilm – lihat: Al Furqan: 52 dan At Taubah: 122.

Namun bisa juga orang yang tidak berangkat ke medan jihad mendapatkan pahala yang sama dengan mereka yang berangkat, yaitu bila mereka tidak berperang karena udzur yang syar’i.

Dalam hadits shahih disebutkan:

”Inna bil madinati aqwaamun maa qatha’tum waadiyan walaa sirtum masieran illaa wa kaanuu ma’akum; habasahumul ’udzr”. Artinya: Sesungguhnya di Kota Madinah ada sejumlah orang yang kemana pun kalian menyusuri lembah dan menempuh perjalanan, (pahala) mereka menyertai kalian; (karena) mereka terhalang oleh udzur.

Nabi menyampaikan hadits ini ketika beliau sedang dalam perjalanan jihadnya bersama para sahabat, dan ini menunjukkan bahwa orang yang tidak syahid di medan perang bisa mendapat pahala mereka yang syahid di medan perang jika mereka mencita-citakan untuk berjihad dan syahid, namun terhalang oleh udzur syar’i, seperti tidak ada kendaraan, tidak bisa mencapai medan jihad, atau karena belum memenuhi syarat-syarat jihad. Tentu mereka yang akhirnya bisa berangkat tetap memiliki kelebihan dari pada yang sekedar mencita-citakan dan belum berangkat, yaitu Allah mencatat bekas-bekas amalan mereka. Sebagaimana dalam surat Yaasien ayat 12, dan At Taubah: 120-121. Dan ini semua harus dipelajari terlebih dahulu, karena jihad adalah ibadah yang juga memiliki syarat-syarat agar diterima Allah. Kalau lah ada seseorang terbunuh di medan perang, kita tidak boleh menyebutnya syahid sebelum memastikan bahwa dia ikhlas dalam perangnya, dan peperangan tersebut tergolong jihad secara syar’i, dan orang tersebut telah memenuhi syarat-syarat jihad. Kalau tidak, maka itu seperti orang yang shalat dengan khusyu’ dan sempurna gerakan maupun bacaannya, tapi dia belum bersuci, atau shalat di luar waktu, atau meninggalkan syarat-syarat sah shalat lainnya.

Tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tadi adalah ’shalat’ yang syar’i, alias dia tidak dibilang telah ’shalat’ bukan?

Begitu pula dengan jihad, tidak semua jihad bentuknya perang, dan tidak semua perang berarti jihad. Mudah-mudahan antum mendapat pencerahan, wabillaahit taufieq.

(Dijawab oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc)


Sumber :

http://www.muslimdaily.net/konsultasi/4073/pahala-orang-yang-syahid-berperang-di-jalan-allah-swt

11 September 2009

Tidak Bisa Ibadah Tapi Dapat Pahala Ibadah

Sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

Artinya: “Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” [HR. Bukhari]

Ini adalah sebuah nikmat yang besar yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman. Yaitu jika seorang hamba terbiasa melakukan sebuah amal ibadah sunnah secara kontinu, kemudian suatu kala ia terhalang untuk melakukannya dikarenakan sakit atau safar, maka pada saat itu ia mendapat pahala ibadah tersebut secara utuh (!!)

Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa jika hamba-Nya tersebut tidak memiliki udzur (halangan) ia akan melakukan ibadah tersebut. Dalam hal ini, secara khusus untuk orang sakit, Allah memberi pahala karena niat orang tersebut. Selain itu juga secara umum, orang tersebut bisa mendapatkan pahala karena telah menunaikan kewajibannya untuk bersabar menghadapi sakitnya, bahkan pahalanya lebih sempurna jika ia ridha dan bersyukur dalam menghadapinya serta merendahkan diri terhadap Allah Ta’ala.

Demikian pula seorang musafir, ia mendapatkan pahala atas amal-amal kebaikan yang ia lakukan saat dalam perjalanan. Semisal, memberi pengajian, nasihat, atau bimbingan kepada orang lain dalam hal agama ataupun dalam masalah duniawi. Secara khusus juga, seorang musafir diberi pahala jika perjalanan yang ia tempuh dalam rangka kebaikan. Seperti safar dalam rangka jihad, haji, umroh atau semisalnya.

Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang beribadah namun terhalang untuk melakukannya dengan sempurna karena suatu udzur. Maka Allah Ta’ala akan menyempurnakan pahala bagi orang tersebut dikarenakan niatnya. Karena uzur yang membuatnya terhalang untuk melakukan ibadah dengan sempurna dapat dikatakan sebagai salah satu jenis penyakit dalam hadits ini. Wallahu’alam.

Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang memiliki niat untuk melakukan amalan yang baik, namun ia terhalang untuk melakukannya karena ia melakukan amalan lain yang lebih baik dari amalan pertama. Dan orang tersebut tidak dapat melakukan kedua amalan tersebut semuanya (harus memilih salah satu). Maka dalam kondisi ini, ia lebih patut untuk diberi pahala yang lebih besar oleh Allah Ta’ala. Namun jika kegiatan lain tersebut tingkat kebaikannya setara dengan kegiatan pertama, maka sungguh karunia Allah Ta’ala sangatlah besar.

[Diterjemahkan dari syarah hadits no.30 dari kitab Bahjatul Qulubil Abrar Wa Qurratu A’yunil Akhyaar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullahuta’ala]

Sumber:

Yulian Purnama

http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=323

27 Maret 2009

Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]

Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ

(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.

Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa

Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.

Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ

(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.

Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]

Dalam hadits yang lain:

وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش

(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]

Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]

Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:

- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.

- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]

Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.

Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ

(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]

Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:

1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]

2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut

Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…

Sumber :

Al Ustadz Qomar ZA, Lc

http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1347, dalam :

http://darussunnah.or.id/artikel-islam/fiqih/awas-perkara-pembatal-pahala-puasa-kita/

11 September 2008


Selasa, 23 Februari 2010

Deposito Pahala Ribuan Tahun

Umur umatku berkisar antara 60-70 tahun. Sangat sedikit di antara mereka yang umurnya melampaui itu" (HR. At-Tirmidzi)


Usia Produktif Manusia

Kurang lebih masa produktif umur manusia sekarang adalah 20 tahun. Bila umur seseorang 60 tahun, maka untuk tidur saja ia perlukan 22 tahun jika tiap harinya ia tidur 8 jam. Lalu, 15 tahun adalah masa kanak-kanak, puber dan penyesuaian. Untuk makan, buang hajat, transportasi, istirahat dan hal-hal privacy lainnya menghabiskan 2-3 jam perharinya. Jika ditotal memakan usia sekitar 5 tahun.

Sepertiga sisa usianya (20 tahun) inilah yang harus dipertaruhkan untuk bisa produktif untuk kepentingan dunia dan akhiratnya. Manusia modern berusaha produktif, efisien dan efektif. Sanking produktifnya, ada orang yang merasa kurang dengan rotasi waktu 24 jam.
Dengan kemajuan teknologi, secara aktivitas duniawi manusia sekarang bisa jadi telah melampaui batas efisensi usia hingga 1000 tahun. Segala sesuatu dibuat serba instan, praktis, cepat dan otomatis; makanan, minuman, barang-barang elektronik hingga ilmu pengetahuan.


Usia Pendek Bisa Melebihi Nilai 1000 Tahun

Bagaimana agar kemenangan sebagai manusia modern tidak saja sebatas dalam urusan dunia tapi juga dalam kehidupan akhirat ?.

Al-Quran sering mengibaratkan kehidupan akhirat dengan perdagangan atau bisnis. (QS. 2:16; 61:10-11). Artinya, diperlukan kecermatan untuk menangkap peluang-peluang yang mendatangkan pahala kelak di akhirat. Al-Quran juga sering menyinggung dengan ungkapan-ungkapan agar kita lebih produktif, efisien dan efektif dalam urusan akhirat. Misal, firman Allah: "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat pula balasannya". (QS. Az-Zilzal: 7-8).

Jika dicermati, kualitas pahala yang melimpah ruah bagi umat Nabi Muhammad Saw adalah sangat relevan dengan karakter manusia modern. Yaitu serba ekonomis, instan, praktis dan penuh produktivitas.

Meski usia pendek, umat Nabi Muhammad Saw dengan rahmat Allah sangat potensial memproduksi pahala berlipat ganda dibanding umat terdahulu yang berusia hingga ribuan tahun. Umat ini banyak diberi keistimewaan pahala yang tidak diberikan kepada umat terhahulu.


15 Hari = Nilai 4166 Tahun

Sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad Saw, banyak proyek kebaikan yang mendatangkan pahala berlipatganda. Di antaranya adalah memperbanyak shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi (HR. Ahmad). Di Masjidil Haram pahalanya dilipatkan 100.000 kali, di Masjid Nabawi dilipatkan 1000 kali.

Pengertiannya, orang yang setiap hari shalat rawatib 12 rakaat di selain Masjidil Haram satu tahun ia baru mendapatkan 4320 rakaat. Sedang dua rakaat di Masjidil Haram sama dengan 200.000 rakaat. Artinya, untuk mendapatkan pahala shalat 200.000 rakaat di selain Masjidil Haram padahal di Masjidil Haram cukup dua rakaat diperlukan waktu selama 40 tahun tiga bulan, dengan shalat rawatib tiap harinya 12 rakaat.
Bila seorang haji aktif shalat jamaah di Masjidil Haram selama 15 hari berikut shalat rawatib maka nilainya sama dengan shalat 43.500.000 rakaat di luar Masjidil Haram, belum lagi hitungan shalat jamaahnya. Artinya, sama dengan ia shalat di luar Masjidil Haram (sebanyak 17 rakaat shalat wajib dan 12 rakaat rawatib) selama 4166 tahun lebih enam bulan.


Seperti Berusia 1215 Tahun

Soal jamaah shalat di masjid, Nabi Muhammad Saw menyebutkan pahalanya lebih utama 27 derajat dari shalat sendirian. (HR. Bukhari Muslim). Artinya, bila ada dua orang yang satu biasa shalat sendirian dan lainnya selalu berjamaah sepanjang hidupnya maka seakan-akan umur yang selalu berjamaah lebih panjang 27 kali dari kawannya. Bila ia biasa berjamaah sejak usia 15 tahun dan usianya 60 tahun, itu artinya seperti berusia 1215 tahun, sedang temannya tetap berusia 60 tahun.

Dalam hal shalat, muslimah memiliki keutamaan yang sangat spesial. Sebab shalatnya di rumah lebih baik daripada shalat jamaah di masjid, sekalipun Masjid Nabawi. (HR. Ahmad). Arti waktu saja, seorang muslimah seakan memiliki usia 27 kali lebih panjang dalam hal kebaikan. Proyek shalat selain yang sarat pahala adalah shalat sunnah di rumah. Shalat sunnah di rumah berpahala 25 kali lipat dibanding shalat di masjid atau jika dilihat orang lain. (HR. Abu Ya'la).


Pahala Puasa dan Shalat Malam 1000 Tahun

Hari Jum'at juga merupakan musim panen pahala yang melimpah ruah. Nabi Muhammad Saw bersabda: "Barangsiapa membasuh dan mandi pada hari jum'at, lalu bergegas berangkat, berjalan dan tidak berkendaraan, dekat dengan imam, mendengarkan dan tidak berbicara (saat khutbah), maka dia mendapat pahala amal selama setahun dengan setiap langkah kaki yang diayunkannya dari rumah hingga ke masjid, yaitu pahala puasa dan shalat malamnya" (HR. Abu Daud).

Jika sekali saja adab Jum'at yang mudah di atas kita laksanakan dan jarak rumah kita dengan masjid 1000 langkah kaki, maka Allah akan menetapkan bagi kita pahala puasa dan shalat malam selama 1000 tahun. Dan bila hal itu kita lakukan sepanjang tahun berapa kali lipat pahala ditangguk? Subhanallah.


Tak Mampu Haji = Pahala Haji

Bagi orang yang tak mampu haji dan umroh ada kiat menangguk pahala haji dan umroh tanpa ke Makkah alias gratis. Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa shalat Shubuh secara berjamaah (di masjid) lalu duduk sambil mengingat Allah hingga matahari terbit, kemudian shalat (dhuha) dua rakaat, maka dia mendapat pahala seperti pahala haji dan umroh, secara sempurna. (HR. Tirmidzi).


Pahala Sejumlah Jama'ah Shalat

"Pahala muadzin juga sangat besar. Ia mendapat pahala orang yang shalat bersamanya. Di samping itu, dosa muadzin diampuni sepanjang suaranya (HR. Nasa'i)". Bila jamaah shalat berjumlah 100 orang, ia mendapat pahala shalat 100 orang tersebut, dengan berbagai keutamaan yang disebutkan di atas. Bila suara kita jelek, atau tak sempat adzan, kita cukup menjawab adzan dan bagi kita pahala seperti pahala muadzin. (HR. Abu Daud).


Puasa 6 Hari = Setahun

Yang ingin menangguk pahala puasa sepanjang tahun, cukup dengan puasa Ramadhan satu bulan penuh ditambah dengan puasa Syawal 6 hari. (HR. Muslim). Kalkulasinya menurut para ulama, karena kebaikan itu pahalanya dilipatkan minimal 10 kali. Jadi 36 hari puasa sama dengan 360 hari alias setahun.

Menghadiri pengajian di masjid untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya kepada orang lain dijanjikan pahala sangat besar. Yaitu sama dengan pahala orang yang berhaji. (HR. Thabrani).


Semalam Lebih Baik Daripada 83 Tahun

Setahun sekali, Allah menurunkan bonus pahala besar yang disebut Lailatul Qadar. Shalat atau ibadah pada malam itu lebih baik dari ibadah seribu bulan atau 83 tahun tigaa bulan. Waktunya sangat mudah, salah satu dari lima malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Bila ada seorang muslim shalat malam pada Lailatul Qadar selama 20 tahun, ditetapkan baginya pahala lebih dari orang yang beribadah selama 1660 tahun. Subhanallah.


1 Jam Lebih Baik Daripada 60 Tahun

Jihad fi sabilillah dengan jiiwa dan harta atau dengan salah satu daripadanya juga sangat menjanjikan. Nabi Saw bersabda : "Keberadaan seseorang dalam jihad fi sabilillah satu jam, sungguh lebih baik daripada ibadah 60 tahun." (HR. Ad-Darmi). Bagaimana pula jika dalam sehari, sebulan dan beberapa tahun ?.


Melebihi Pahala Sebagian Tingkat Jihad

Panen pahala melimpah juga ada sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Orang yang melakukan beberapa kebaikan dan amal shalih pada hari-hari tersebut akan mendapat limpahan pahala tak terhingga, bahkan mengungguli pahala sebagian tingkat jihad (HR. Bukhari).


Nilai Khatam Al-Quran Dengan Sesaat

Prinsip ekonomi, modal kecil untung besar berlaku pula dalam pahala bacaan Al-Qur'an. Nabi SAW bersabda "Qulhuwallahu ahad sama dengan sepertiga Al-Qur'an dan Qul ya ayyuhal kafirun sama dengan seperempat Al-Qur'an." (HR. Thabrani, shahih). Bila setiap hari kita membaca surat al-Ikhlas tiga kali, kita dapat pahala khatam Al-Qur'an sekali, empat kali surat Al-Kafirun juga berpahala satu kali khatam.


Lebih Baik Daripada I'tikaf 10 Tahun

Kegiatan sosial, seperti memberi santunan sembako, pinjaman, membebaskan hutang dan berbagai bentuk pemenuhan kebutuhan sesama manusia juga sarat pahala, Nabi Saw bersabda: "Siapa yang berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, maka itu lebih baginya dari pada I'tikaf selama 10 tahun. Dan barangsiapa I'tikaf satu hari untuk mencari ridha Allah, maka Allah menjadikan tiga parit antara dirinya dan neraka. Jarak setiap parit seperti jarak antara timur dan barat" (HR.Thabrani, Hasan).


Dido'akan 70.000 Malaikat

Orang yang menjenguk si sakit akan didoakan 70.000 malaikat, dan selama membezuk, ia (seakan) berada di kebun surga. (HR. Tirmidzi, Hasan). Padahal untuk minta didoakan 100 kyai saja, kita perlu waktu dan biaya besar buat mengundangnya. Ini tak tanggung-tanggung, cukup bezuk si sakit 70.000 malaikat yang maksum mendoakan kita.

Masih banyak lagi proyek-proyek lain berpahala besar. Tetapi yang lebih penting, mari kita amalkan. Terakhir, ada proyek amal yang menghasilkan deposito pahala abadi. Karenanya kita perlu usahakan, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan kita. (HR. Muslim).


Hanya Untuk Allah Semata-mata

Hikmah dari berbagai pahala besar di atas adalah hendaknya kita tidak menyia-nyiakan usia meski sedetik untuk suatu kebaikan. Sebab setiap detik usia kita ada pertanggungjawabannya. Di samping itu, diberikannya berbagai bonus pahala tersebut agar kita lebih giat lagi beribadah. Insya Allah hidup kita akan produktif hingga ribuan tahun. Tidak hanya untuk kepentingan dunia, tapi juga untuk akhirat.

Sumber:
H. Rizal Mahaputra
http://acmy.id.or.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=553&Itemid=46
4 Desember 2008

Bisakah Kirim Pahala

Pertanyaan dari orang Sudan yang tinggal di Kuwait, ia mengatakan: “Apa hukumnya membaca Al-Fatihah untuk dihadiahkan kepada mayit, juga menyembelih hewan untuknya, demikian pula memberikan uang untuk keluarga mayit?”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab:

Mendekatkan diri kepada mayit dengan sembelihan, uang, nadzar, dan ibadah-ibadah lainnya, semacam meminta kesembuhan darinya, pertolongan, atau bantuan, ini merupakan syirik akbar (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Tidak boleh bagi seorang pun untuk melakukannya, karena syirik adalah dosa dan kejahatan terbesar. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إ
ِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah (surga), dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An'am: 88)

Dan banyak ayat yang semakna dengannya. Maka yang wajib dilakukan adalah mengikhlaskan/meniatkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya, baik itu berupa sembelihan, nadzar, doa, shalat, puasa, atau ibadah-ibadah selainnya. Di antara syirik juga adalah mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar atau makanan (sesajen), berdasarkan ayat-ayat yang lalu. Juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

Adapun menghadiahkan Al-Fatihah atau selainnya dari Al-Qur’an kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukumnya dari Al-Qur’an atau Hadits). Maka yang wajib dilakukan adalah meninggalkan hal tersebut. Karena tidak pernah dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabatnya, sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut. Yang disyariatkan adalah mendoakan untuk mayit dan menshadaqahkan untuk mereka dengan cara berbuat baik kepada para fakir miskin. Dengan itu, seorang hamba mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepada-Nya agar pahalanya dijadikan untuk ayah atau ibunya, atau orang yang mati atau masih hidup selain keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”

Telah shahih bahwa seseorang berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan belum sempat berwasiat, dan aku kira kalau dia sempat bicara ia akan bersedekah, apakah dia dapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” (Muttafaqun ‘alaih),

Demikian pula halnya menghajikan mayit serta mengumrahkannya juga membayarkan utangnya. Semuanya itu bisa memberi manfaat bagi mayit sesuai dengan keterangan yang datang dalam dalil-dalil syariat.

Adapun jika yang dimaksud penanya dengan pertanyaannya adalah untuk berbuat baik kepada keluarga mayit serta bersedekah dengan uang dan sembelihan, maka itu boleh bila mereka itu orang-orang fakir. Yang utama adalah tetangga dan kerabat membuatkan makanan di rumah mereka masing-masing lalu menghadiahkannya kepada keluarga mayit.

Karena telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ketika sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berita kematian Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam peperangan Mu’tah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kerabatnya untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far dan beliau mengatakan: “Karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”

Adapun bila keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang (masyarakat) karena kematian (semacam peringatan tujuh hari, red.) maka itu tidak boleh. Hal itu termasuk amalan jahiliah, baik itu pada hari kematian, hari keempatnya atau kesepuluh atau setelah genap setahun. Semua itu tidak boleh. Ini berdasarkan riwayat yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَهُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul ke keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakaman adalah termasuk niyahah1(meratapi mayit).”

Adapun jika ada tamu mendatangi keluarga mayit pada hari-hari berkabung (saat takziyah) maka tidak mengapa keluarga mayit membuat makanan untuk mereka sebagai suguhan untuk tamu. Sebagaimana tidak mengapa bagi keluarga mayit untuk mengundang siapa yang mereka kehendaki dari tetangga atau kerabat untuk makan bersama mereka dari makanan yang dihadiahkan kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberi taufiq.



Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dan saya hadiahkan untuk ayah ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?


Jawab:

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab:

Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca) Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (maknanya): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)
Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan: “Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.”

Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.
Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam... Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberikan taufiq. (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al-Mutanawwi’ah)


Pendapat Al-Imam Syafi’i rahimahullahu

Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.

Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal.

Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ

“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.”

Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ

“Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.”

Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)

Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39)

1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah, lafadz di atas adalah lafadz Ahmad. Niyahah atau meratapi mayit, telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan keras dan termasuk dosa besar, karena pelakunya telah diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits:

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit) bila tidak bertaubat sebelum matinya maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (secara merata).” (Shahih, HR. Muslim)


Sumber :
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=912
4 Februari 2010

Kalkulator Muslim, Berhitung Amal Dan Pahala

Sebentar lagi bulan Ramadhan akan tiba. Bulan suci bagi umat Islam yang di dalamnya kaum Muslimin diperintahkan untuk berpuasa serta melakukan amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Di dalam bulan itu dijanjikan pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan dibanding bulan-bulan lainnya.

Mungkin ada sebagian kaum Muslimin yang masih mempermasalahkan boleh tidaknya beramal dengan mengharap-harapkan pahala. Terutama yang berpandangan bahwa keikhlasan dalam beramal berarti tidak mengharapkan balasan pahala. Pada tingkatan tertinggi dalam beramal, hanya berharap akan ridho Allah Swt memang merupakan pilihan yang terbaik. Tetapi bukan berarti yang mengharapkan pahala, dan mengharap surga serta takut akan siksa di neraka adalah pilihan yang tidak pantas.

Mengharap pahala dan balasan kebaikan dari Allah Swt atas amal kebaikan yang diperbuat adalah hal yang dibolehkan, karena pahala atau balasan kebaikan sudah disediakan oleh Allah Swt bagi siapa saja di antara kaum Muslimin yang melakukan amal yang diperintahkan begitu juga dengan jumlah perhitungannya, yang disampaikan di dalam beberapa keterangan, seperti Al-Baqarah ayat 245, Al-Baqarah ayat 261, Al-An’am ayat 160, Al-Ahzab ayat 31, dan masih banyak dalil-dalil lainnya.

Bolehkan kita menghitung-hitung amal kebaikan?

Boleh. Dan ini sudah disinggung oleh Amirul Muminin, Khalifatullah Umar ibnu Al-Khattab ra. yang bergelar Al-Faruq atau pembeda yang hak dan yang batil, yang pernah berkata, ”Haasibu anfusakum qabla an tuhaasabuu”. Artinya: Berhitunglah atas dirimu sebelum engkau diperhitungkan, maksudnya adalah berhitung-hitung pahala dan dosa sebelum sampai tiba masanya amal kita diperhitungkan oleh Allah Swt di hari pembalasan.



Pahala bisa bertambah dan berkurang disebabkan perbuatan yang lain

Pahala adalah suatu nilai kebaikan dari Allah Swt yang diberikan sebagai balas jasa atas amal yang dilakukan karena Allah. Arti dari “karena Allah” di sini bisa “disebabkan patuh kepada perintah Allah”, “takut kepada murka Allah” atau “hanya mengharapkan ridho Allah Swt.” Sedangkan amal yang dilakukan selain karena Allah, misalnya karena takut kepada atasan atau ingin mengambil hati calon mertua, bukanlah termasuk yang akan mendapatkan pahala.

Ukuran nilai pahala yang akan diberikan tentu saja adalah hak mutlak Allah Swt untuk memutuskannya, namun gambaran-gambaran yang diberikan di beberapa ayat Alquran seperti telah disebutkan di atas merupakan ukuran kasar yang rumus perhitungannya tidak diberitahukan.

Selain besaran pahala yang telah diterima untuk setiap amal kebaikan yang kita lakukan, kita masih mempunyai peluang berupa penambahan atau pengurangan pahala disebabkan perbuatan lain yang kita lakukan kemudian. Hal itu menunjukkan bahwa setiap perbuatan atau amal kita saling mempengaruhi satu sama lain, dan tidak akan berhenti hingga akhir zaman (dalam hal ini amal jariyah).


Kalkulator penghitung amal dan pahala

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa kita boleh menghitung-hitung amal kita, bahkan dianjurkan, sebelum seluruh amal kita diperhitungkan oleh Allah Swt di akhirat nanti. Seperti halnya seorang akuntan atau ahli keuangan yang setiap periode tertentu selalu menghitung kembali kondisi neraca keuangan sebuah perusahaan, agar bisa diketahui apakah perusahaan tersebut sedang untung atau merugi.

Begitu juga dengan kita umat Islam, hendaknya kita selalu memperhatikan masalah perhitungan amal ini. Karena seperti uang yang seringkali mengalir keluar tanpa terasa, dan akhirnya kita bisa mengalami defisit anggaran, demikian juga dengan pahala yang bisa habis disebabkan dosa-dosa yang dilakukan. Dosa-dosa itu ibarat hutang, maka alat pembayarannya adalah pahala, atau dosa adalah kewajiban yang tertunda yang harus dibayar dengan pahala.

Kalkulator amal dan pahala memuat operasi-operasi perhitungan berupa perbuatan-perbuatan yang bisa menambah atau mengurangi pahala kebaikan kita secara otomatis. Seperti simbol operasi perhitungan pada kalkulator pada umumnya yang bisa menambah atau mengurangi nilai suatu bilangan setelah kita menekannya, begitu juga dengan simbol operasi perhitungan berikut ini.


1. “X”, pengali

“X” atau pengali adalah operasi perhitungan yang akan melipatgandakan suatu nilai. Faktor yang bisa melipatgandakan nilai pahala adalah ridho Allah Swt. Ridho artinya senang, maka ridho Allah artinya Allah Swt senang atas amal perbuatan kita. Apabila Allah Swt menyenangi setiap amal perbuatan kita, maka bisa saja dia melipatgandakan balasan pahala untuk kita sekehendaknya. Seperti disebutkan di dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 261, yang artinya, “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah itu seperti sebuah biji yang menumbuhkan tujuh ranting dan setiap ranting itu memiliki seratus biji. Dan Allah melipatgandakan pahala itu bagi siapapun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas KaruniaNya lagi Maha Mengetahui.”


2. “:”, pembagi

Tanda “:” atau pembagi adalah operasi perhitungan yang akan mengurangi suatu nilai secara berlipat. Faktor yang dapat mengurangi nilai pahala puasa secara berlipat adalah perbuatan buruk yang berakibat rasa sakit pada orang lain, baik pada perasaannya atau pun tubuhnya, seperti ghibah (bergunjing), menuduh, mencela, memfitnah, memakan harta orang lain dan menganiaya orang lain (memukul, menyiksa, dan lain-lainnya).

Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.” Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang teraniaya tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka orang2 teraniaya) dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim).


3. “+”, penambah

“+” atau penambah adalah operasi perhitungan yang dapat menambah suatu nilai sebesar nilai penambahnya. Rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya adalah faktor yang bisa menambah nilai pahala kebaikan kita berupa bertambahnya nikmat hidup di dunia dan di akhirat. Seperti difirmankan-Nya dalam Alquran surah Ibrahim ayat 7: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”


4. “-“, pengurang

Simbol “-“ atau pengurang adalah operasi perhitungan yang dapat mengurangi suatu nilai sebesar nilai pengurangnya. Faktor pengurang pahala adalah sikap mencari perhatian makhluk dalam beramal, jadi bukan karena Allah, seperti ujub (membanggakan diri sendiri), riya’ (mencari pujian orang lain) dan sum’ah (minta didengarkan oleh orang lain/perhatian).

Seperti firman Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 264, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”


Bulan Ramadhan, bulan bonus pahala dan kemudahan beramal

Bulan Ramadhan adalah satu-satunya bulan di mana kaum Muslimin diberikan berbagai fasilitas untuk mempermudah amal kebaikan. Ada bonus pahala berupa nilai yang ditambah untuk amal yang sunah sama dengan wajib, dan amal yang wajib dikalikan 70 kali lipat. Demikian juga dengan ibadah dan amal kebaikan di malam Lailatatul Qadar yang akan dinilai lebih baik dari seribu bulan. Dan ada yang lebih menarik, yakni umat Islam mendapatkan kemudahan untuk beramal, yakni dibelenggunya syaitan-syaitan penggoda agar kita bisa beramal dengan lebih ringan.

Marilah kita pergunakan kesempatan bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya. Pergunakanlah kalkulator Muslim kita ini dengan cermat, baik di dalam bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan yang lain, agar kita termasuk orang-orang yang beruntung, bukan orang-orang yang merugi. Semoga Allah Swt meridhoi amal perbuatan kita semua. Amin.


Sumber :
Anwariansyah
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=15153
20 Agustus 2009

Mendulang Pahala di Tengah Kemacetan

Macet adalah fenomena kota Jakarta dan kota-kota sekitarnya yang menjadi tujuan para urban untuk mencari penyambung hidup. Bukan berarti kota-kota lainnya bebas macet. Dari penelusuran di internet, hampir kota-kota besar di seluruh Indonesi akrab dengan kemacetan, khususnya di pagi dan sore hari.

Macet, yang berarti MAu CEpeT (maksudnya, karena sama-sama mau cepet, jadinya macet) bisa berimbas mampetnya pemikiran yang jernih sehingga tercetus kalimat-kalimat yang kotor, baik berupa keluh kesah, ngomel-ngomel sendiri sampai ngomelin orang lain. Macet juga menjadi penyebab stres sehingga dia berbuat tanpa kontrol dan kurang memperhitungkan akibatnya, apa Allah ridla atau tidak.

Sebagai orang Islam, tujuan hidup-nya adalah untuk mengabdi kepada Allah. Dalam istilah syar'inya dikenal dengan ibadah. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku," (QS. Adz Dzariyaat: 56). Ibadah dalam arti menjadikan seluruh perbuatan dan perkataannya bernilai pahala di sisi Allah sehingga Allah ridla dan cinta kepadanya.

Hidup yang kita jalani tidak pernah lepas dari dua hal, yang menyenangkan atau yang menyebalkan (tidak disuka). Dan keduanya bisa bernilai pahala, bagaimana caranya? Bersyukur terhadap yang pertama dan bersabar terhadap yang kedua. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika mendapat kesenangan bersyukur dan jika ditimpa musibah bersabar dan yang demikian baik baginya." (HR Muslim)

Namun, perlu diingat bahwa hal itu hanya dimiliki orang beriman. Yaitu orang yang dalam langkahnya senantiasa mempertimbangkan dengan keimanan. Yakin Allah senantiasa mengawasinya dan dua Malaikat senantiasa siap mencatat setiap perkataan dan perbuatannya. Tidak ada yang luput barang sedikitpun. Kelak di akhirat Allah akan menampakkannya untuk dibalas, jika baik maka baik pula balasannya dan jika buruk maka keburukan yang dipetiknya. Karenanya ia akan mengusahakan dalam setiap langkah dari hidupnya bernilai ibadah dan bernilai kebaikan.

Ada sebuah pelajaran bagus yang bisa kita petik. Pernah ada seorang suami mengeluh kepada istrinya tentang kemacetan di perjalanan menuju ke kantor. Kata istrinya yang shalihah, "Mas, obatnya macet adalah berzikir. Selain mengobati stress dan pusing tujuh keliling juga mendapat pahala lho." Resep sang istri pun dikerjakannya. Sejak itu ketika di tengah kemacetan, ia pergunakan waktunya dengan berzikir. Dalam pengakuannya, "ternyata asyik juga ya".

Kalau dipikirkan, ngomel-ngomel, marah-marah, atau bunyiin klakson berulang-ulang dengan suara keras yang buat pekak telinga orang lain tidak akan mengurangi kemacetan. Bahkan bisa menambah masalah, ribut dengan pengguna jalan yang lain dan yang pasti pahala tidak didapat, ridla dan cinta Allah tidak diraih. Sia-sia kan? Namun kalau digunakan untuk berdzikir seperti membaca dzikir pagi dan sore hari, baca istighfar, sayyidul istighfar, berdoa atau mengulang-ulang hafalan Al Qur'an; di samping bisa menghilangkan stres, pahala juga didapat. Untungkan?

Yang jelas, bagi seorang mukmin tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya. Kesempatan, baginya adalah nikmat, sehingga akan diusahakan supaya bernilai ibadah dan menghasilkan pahala.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua nikmat yang manusia sering dilalaikan (rugi) di dalamnya yaitu sehat dan waktu luang (kesempatan)." (HR. Bukhari dan Ahmad dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma).

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "barangsiapa menggunakan kedua nikmat tersebut dalam kemaksiatan kepada Allah, maka ia telah tertipu (rugi)." [Purnomo/voa-islam.com]


Sumber :
http://voa-islam.com/trivia/tsaqofah/2010/02/08/3188/mendulang-pahala-di-tengah-kemacetan/
8 Februari 2010

Ramadhan: Obral Pahala, Hapus Dosa

Kebanyakan remaja putri sering ngerasa gelisah bin uring-uringan pas mau dateng bulan. Malahan sampe ada yang minum kiranti atau feminax . Tapi untuk bulan yang satu ini, kayaknya nggak perlu deh uring-uringan. Apalagi sampe grasak-grusuk nyari obat. Justru kita kudu sambut dengan gembira kedatangan bulan yang satu ini. Nggak cuma buat anak cewek, tapi untuk semua-mua. Remaja-remaji, tua-muda, kakek-nenek, pedagang-pembeli, baik pengemis maupun selebritis. Karena di bulan ini bakal ada obral gede-gedean. Suer!

Asli. Kita nggak bo'ong. Di bulan Ramadhan yang udah di pelupuk mata itu, kita temui bakal ada obral pahala gede-gedean yang jadi ciri khas bulan mulia ini. Coba bayangin, di bulan suci ini pahala kebaikan kita akan dilipatgandakan. Kalo kita ngerjain ibadah sunnah, dapet pahala ibadah wajib. Sedangkan pahala ibadah wajib, dilipatgandakan sampe 700 kali dari biasanya.

Udah gitu, puasa ramadhan dijanjikan Allah akan menghapus dosa-dosa kita yang lalu. Dan di sepuluh malam terakhir bulan ini ada 'door prize' spesial, lailatul qadar . Yang lebih baik dari seribu bulan. Tuh, gimana nggak seneng coba? Makanya jagain yuk!

So, nggak baik kalo cuma bengong setelah baca tulisan ini. Buruan, jangan sampe ketinggalan. Selagi masih ada waktu, segera persiapkan diri kita untuk menyambut datangnya bulan mulia yang cuman satu bulan dalam setahun. Iiih..jadi nggak sabaran pengen cepet-cepet hari-'H', jam-'J', dan detik-'D'!


Bekal yang kudu kita siapkan

Sobat muda muslim, rugi abis deh kalo kita ngerasa nggak ada yang istimewa di bulan ramadhan. Soalnya cuma di bulan ini banyak pahala yang dilipatgandakan untuk setiap kebaikan dan banyak dosa yang diampuni. Makanya pantas banget kan kalo setiap detik di bulan Ramadhan ini kita isi dengan beramal sholeh. Karena itu banyak yang kudu kita persiapkan: fisik, mental, dan ilmu. Catet ya!

Persiapan fisik . Nggak salah kan kalo banyak aktivitas ibadah di bulan ramadhan ini yang menyita tenaga kita lebih banyak. Setiap hari mulai dari terbit fajar sampe terbenam matahari. Sementara siangnya kita juga tetep harus beraktivitas seperti biasanya. Ya kerja, kuliah, atau sekolah. Belum lagi aktivitas ibadahnya. Shalat tarawih yang rakaatnya banyak, tilawah quran, silaturahmi ke sodara, ikut sanlat atau kajian Islam, dsb. Pokoknya bejibun deh. Itu sebabnya, jangan sampe deh, mentang-mentang puasa kita jadi nggak produktif.

Biar nggak gempor, fisik kita bisa dilatih dengan berolahraga kaya jjs alias jalan-jalan shubuh. Tapi mohon dengan hormat untuk tidak ada acara campur-baur cewek-cowok lho. Selain olahraga, istirahat yang cukup juga kudu terpenuhi.

Tapi juga jangan berlebihan. Mentang-mentang tidurnya orang puasa dapet pahala, seharian tidur mulu. Ih, malu dong ama sang mentari yang melek terus. Nah lho. Jadi kudu ati-ati tuh.

Persiapan mental . Ini nih yang rada-rada susah. Banyak dari kita yang gagal dalam menahan hawa nafsu. Kita kudu pandai-pandai mengendalikan diri. Meski digodain ama adek kita yang asyik jilatin es krim conello rasa capucino di tengah terik panas siang hari, tapi kita tetep tahan godaan.

Oya, buat teman cewek, hati-hati lho. Fakta menunjukkan banyak kaum hawa yang mulutnya puasa dari lapar dan haus, tapi nggak untuk urusan gosip..gosip..gosiiip... Jadi IWAPI lho, alias Ikatan Wanita Penyebar Isu .

Puasa kamu memang nggak batal dengan ngegosip, tapi pahalanya bisa berkurang karena ngomongin kejelekan orang lain alias ghibah. Nah, biar kita nggak gampang tergoda, alihkan perhatian kita dengan ikut kegiatan keislaman yang marak di bulan ini. Selain dapet pahala, bisa mengalihkan kita dari hal-hal yang memancing nafsu kita. Tul nggak?

Oya, kamu juga kudu persiapan ilmu, lho. Kita khawatir banget kalo aktivitas kita di bulan ramadhan ternyata sia-sia kalo nggak tahu ilmunya. Niatnya amal sholeh, malahan jadi amal salah. Berabe khan. Makanya jangan bosen bin bete ngikutin acara-acara pengajian atau sanlat. Banyak ilmu bermanfaat yang bisa kita peroleh. Kita jadi tahu rambu-rambu dalam berpuasa. Ada hal-hal yang membatalkan puasa, tapi nggak sedikit yang hanya membatalkan pahala puasanya aja.

Dan yang terakhir, rasanya plong jika kita masuki bulan Ramadhan dengan hati bersih dan lapang. Alangkah mulianya jika menjelang Ramadhan kita minta maaf kepada orangtua. Minta ampunan jika telah berbuat durhaka kepada mereka. Saling memaafkan juga berlaku buat temen-temen kita. Sudah siap? Tariik maaang!



Ladang pahala

Sobat muda muslim, meski secara fisik kita diwajibkan untuk menahan rasa lapar dan haus, plus menghindari perbuatan maksiat, namun bukan berarti kita juga kudu puasa dari aktivitas amal shaleh. Mulut boleh istirahat dari mengunyah makanan seharian, tenggorokan boleh kering, perut boleh keroncongan menahan lapar, tapi semangat untuk beraktivtas mulia kudu tetap menyala. Banyak ladang pahala selain shaum yang bisa kita peroleh di bulan puasa.

Ba'da shalat shubuh, di sela-sela waktu senggang kita di siang hari, atau ba'da shalat malam bisa kita isi dengan tilawah quran.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: "Shaum dan Quran itu memintakan syafaat seseorang hamba di hari Kiamat nanti. Shaum berkata : Wahai Rabbku,aku telah mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Dan berkata pula al-Quran : Wahai Rabbku aku telah mencegah dia tidur di malam hari (karena membacaku), maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memintakan syafaat." ( HR Ahmad, Hadits Hasan)

Nah, kita bisa tuh selalu menyediakan al-Quran kecil di tas, di atas meja belajar, atau di kamar kita. Biar gampang nyari kalo mau baca. Bukan buat dipelototin. Apalagi cuma pajangan.

Kurang lengkap rasanya kalo menjalankan kewajiban puasa tanpa diikuti dengan shalat tarawih di malam harinya. Banyak keutamaan yang bisa diperoleh dengan shalat tarawih. Mulai dari pengampunan dosa sampai Allah permudah jalannya menuju surga. Maka selain puasanya harus full , tarawihnya juga jangan sampai berlubang. Di sepuluh malam terakhir kita bisa ber-'itikaf yakni berdiam diri di masjid dengan niat beribadah pada Allah Swt.

Atau bisa juga kita ngadain buka bersama, aksi sosial pemberian pakaian bekas, atau bazaar sembako murah meriah. Lebih oke lagi kalo kita mengadakan sanlat. Baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar rumah. Kapan lagi orang punya semangat beribadah selain di bulan penuh berkah ini. Betul?

Oke deh sobat. Kayaknya nggak pantes deh kalo kita cuma melewatkan hari-hari di bulan suci dengan nongkrong di pinggir jalan, seharian main gim, halma, monopoli, catur, karambol atau kegiatan lain yang miskin nilai ibadahnya. Moga puasa semua kita berkah. Memanen pahala, menghapus dosa. Berangkaaat. [hafidz]

Sumber :
http://www.dudung.net/buletin-gaul-islam/ramadhan-obral-pahala-hapus-dosa.html
24 Oktober 2003

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)

Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.

Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.

Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.

Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah swt dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).


Sumber :
Dr. Attabiq Luthfi, MA
http://www.dakwatuna.com/2007/meraih-pahala-dari-fitnah-harta-dan-anak/
7 Maret 2007

Menyalurkan Syahwat Kepada Istri Adalah Pahala

Saudaraku, Islam merupakan ajaran yang sangat memperhatikan fitrah manusia. Islam di satu sisi mendorong penganutnya untuk berlomba dalam menggapai derajat ideal seorang muttaqin namun pada sisi lain tidak mengabaikan sisi manusiawi dirinya. Tidak ada sistem kerahiban di dalam Islam dimana seseorang dituntut untuk hanya beribadah kepada Allah sepanjang waktu sehingga bilamana ia lapar, haus atau mempunyai kebutuhan manusiawi lainnya maka ia diharuskan untuk mengabaikannya alias dilarang untuk mempedulikannya apalagi memenuhinya.

Bahkan di dalam sebuah ayat Al-Qur’an Allah memberitahu kita akan hadirnya aneka syahawaat (hasrat duniawi) di dalam diri manusia. Dan hendaknya aneka syahawaat tersebut disikapi secara benar, bukan diabaikan atau dinafikan.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ

مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ

ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ


”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran ayat 14)

Pada ayat di atas jelas Allah katakan bahwa segenap jenis hasrat duniawi tersebut merupakan kesenangan hidup di dunia bagi manusia. Namun di dalam ayat itu pula Allah mengingatkan orang-orang beriman agar selalu menyadari bahwa di sisi Allah ada tempat kembali yang lebih baik, yakni surga di akhirat kelak. Surga merupakan kenikmatan hakiki dan abadi yang Allah janjikan dan sediakan hanya bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepadaNya.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ

عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 133)

Seorang yang beriman sangat dikondisikan oleh ajaran Islam untuk memiliki semangat berkompetisi dalam mengejar keberuntungan di akhirat. Namun itu tidak berarti bahwa ia samasekali tidak diperkenankan menikmati kesenangan duniawi. Hanya saja ia selalu perlu mengingat bahwa kesenangan dunia tidak seberapa dibandingkan dengan kesenangan di akhirat. Sehingga dalam sebuah hadits Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan betapa hinanya dunia ini. Betapa tidak bergunanya kebanyakan aktifitas manusia di dunia ini, kecuali beberapa jenis tertentu:

أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا

ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya dunia ini terkutuk. Terkutuk apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya serta penyebar ilmu dan penuntut ilmu.” (HR Tirmidzy)

Apa-apa yang dikecualikan oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam di dalam hadits di atas merupakan kegiatan di dunia yang sungguh sangat luas cakupannya. Terutama ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebut mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya. Sungguh, apa-apa yang menyertai mengingat Allah sangatlah luas cakupannya. Ia bisa mencakup urusan bisnis, bersosialisasi, berkeluarga, bermasyarakat, berda’wah dan berjihad di jalan Allah.

Bahkan dalam hadits lainnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam malah menyebutkan apa saja perkara yang termasuk ke dalam bentuk lain daripada dzikrullah (mengingat Allah). Dan uniknya, salah satunya ialah bercengkerama dengan keluarga. Subhanallah...! Suatu kegiatan yang barangkali kebanyakan orang (terutama para bapak yang bermental workaholic) menganggapnya sebagai menyia-nyiakan waktu saja.

كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

فَهُوَ لَهُوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلا أَرْبَعَ خِصَالٍ

مَشْيُ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ

ومُلاعَبَةُ أَهْلِهِ وَتَعَلُّمُ السِّبَاحَةِ

“Segala sesuatu yang bukan dzikrullah maka ia termasuk perkara melalaikan atau melenakan, kecuali seorang yang latihan memanah, latihan berkuda, bercengkerama dengan keluarganya dan belajar berenang” (HR Thabrani)

Apa-apa yang seringkali dikira kebanyakan orang sebagai perbuatan menghabiskan waktu, ternyata di dalam ajaran Islam dikategorikan sebagai ibadah penghambaan kepada Allah. Coba renungkan, bukankah dengan bercengkerama bersama keluarga, berarti seorang ayah atau suami telah berupaya membangun soliditas di dalam ruang lingkup elemen masyarakat yang paling kecil? Berarti ia telah menyumbang sebuah kebaikan bagi masyarakat yaitu keharmonisan dan ketenteraman yang tentunya didambakan oleh setiap anggota masyarakat beradab. Namun tentunya hal ini harus dilakukan dengan menjaga rambu-rambunya. Di antaranya ialah tidak dilakukan berlebihan sehingga melalaikan seseorang akan tugas utamanya beribadah kepada Allah dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Lalu ia harus memastikan bahwa ia terlibat dalam bercengkerama dengan keluarga miliknya bukan dengan keluarga apalagi istri milik orang lain...!

Daam hadits di bawah ini Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam malah menyampaikan suatu pesan yang bahkan sempat membuat para sahabat dari kalangan yang kurang mampu menjadi terkejut dan keheranan. Coba perhatikan hadits berikut ini:

أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَارَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا

نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ

بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ

مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً

وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً

وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ

قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ

فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا

“Sesungguhnya di antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ada yang berkata: ”Ya Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami mengerjakan sholat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagimu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh seseorang kepada ma’ruf adalah sedekah, melarangnya dari perkara mungkar adalah sedekah dan bersetubuhnya seseorang di antara kamu dengan istrinya adalah sedekah.” Mereka bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab: ”Tidakkah kamu tahu, apabila seseorang menyalurkan syahwatnya pada yang haram, dia berdosa? Demikian pula apabila disalurkannya kepada yang halal, dia mendapat pahala.” (HR Muslim)

Saudaraku, jelas sekali dari keterangan hadits di atas bagaimana Islam sangat mengakui, memahami bahkan menghargai orang yang memiliki kebutuhan fitri-manusiawi. Ia tidak saja diizinkan untuk melampiaskan hasrat syahwat kelaminnya kepada pasangan syar’inya (suami atau isterinya), namun lebih jauh lagi ia dijamin bakal memperoleh ganjaran alias pahala di sisi Allah karena melakukannya sesuai aturan Allah.

Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang pandai mensyukuri nikmat Iman dan Islam yang telah Engkau anugerahkan kepada kami. Wafatkanlah kami dalam keadaan senantiasa berserah diri kepadaMu. Karuniakanlah kepada kami hidup bahagia dan abadi di surgaMu kelak bersama para Nabi, orang-orang jujur, para syuhada, orang-orang sholeh lainnya dan tentunya bersama anak-istri-orangtua-saudara kami semuanya. Amin ya Rabb.-


Sumber :
Ringan Berbobot
bersama Ihsan Tandjung
http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/menyalurkan-syahwat-kepada-istri-adalah-pahala.htm
15 November 2009