Rabu, 24 Februari 2010

Usaha Mengumpulkan Poin Pahala Sebanyak-banyaknya


‘An Abi Dzarin qola, qola li Rosulullohi SAW “ya Aba Dzar la-an tagh duwa fa ta’al-lama ayatan mi kitabillahi khoirun la ka min an tushol-liya miatan rok’atin , wa la-an tagh duwa fa ta’al-lama ba ban minal ‘ilmu ‘umila bi hi aw lam tu’mal khoirun laka min an-tushol-liya alfa rok’atin”

Riwayat Hadits Sunan Ibnu Madjah juz 1 hal.79

Makna Bacaan hadits di atas sebagai berikut : Dari Abi Dzar berkata, bersabda kepadaku (siapa) Rosulullohi Shol-lallohu ‘alaihi wa salam “Hai Aba Dzar niscaya jika suatu pagi engkau belajar satu ayat dari Kitabillah (Al-Qur’an) maka itu lebih baik bagimu daripada engkau (melakukan) sholat seratus rokaat, dan niscaya jika suatu pagi belajar satu bab dari ilmu (sunah / hadits), yang sudah diamalkan atau belum diamalkan, maka itu lebih baik bagi daripada engkau (melakukan) sholat seribu rokaat.

Saudara,

Begitu besar “iming-iming” pahala yang sudah Alloh janjikan bagi hambanya yang sanggup giat belajar mendalami kalamulloh, ilmu agama Islam Al-Quran dan Al-Hadits.

Bayangkan , dengan belajar satu ayat Al-Quran saja pahalanya lebih baik daripada sholat 100 rokaat. Belajar yang dimaksud disini tentu bukan hanya sekedar belajar membaca, namun justru yang tidak kalah pentingnya adalah belajar memahami kandungan maknanya, sehingga mendapatkan pengrtian sebagai dasar berkeyakinan.

Terlebih belajar ilmu hadits satu bab saja maka poin pahala yang dapat dikumpulkan sudah melebihi pahalanya orang mengerjakan sholat 1000 rokaat. Subhaanalloh

Yang lebih menyenangkan bagi kita, bahwa pahala itu sudah kita dapatkan meskipun kita baru mengaji dan belum mengamalkan. Belum diamalkan saja sudah besar pahalanya apalagi kalau sudah diamalkan.

Yang dimaksud jumlah “satu ayat Al-Quran” , insyaAlloh sudah jelas karena ayat-ayat dalam Al-Quran sudah diberi nomor urut. Sedangkan pengertian jumlah satu bab ilmu hadits adalah satu matan / isi sebuah hadits sebagaimana yang kita tayangkan di atas, adalah satu bab hadits, panjang pendek nya isi hadits tetntu sangat bervareasi.

Mengapa kita perlu mengumpulkan pahala yang sebanyak-banyaknya?

Ya, karena pahala adalah nilai kebaikan yang menjadi penentu beratnya hisaban / timbangan amal di akhirat kelak. Dengan ditimbang, maka seseorang akan dapat diketahui mana yang lebih berat amalan baik (pahala) ataukah dosanya.

Amal sholih / kebaikan meskipun kecil timbangannya akan terlihat hasilnya demikian juga amalan jelek / dosa.

Dengan mengaji / belajar ilmu agama maka pahala yang didapatkan begitu besar.

Apalagi dalam kenyataan selama ini jarang kita menghitung berapa jumlah ayat atau jumlah hadits yang kita kaji perdalam dalam satu kali sesi di pengajian majelis taklim, tentu kita berharap tabungan pahala yang akan kita petik di akhirat makin lama makin membesar.

Sangat sayang dan merugi rasanya apabila peluang yang sangat baik ini, di kala kita masih sehat diberi umur panjang tetapi tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk belajar ilmu agama.

Orang yang merugi adalah mereka yang tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.


Sumber :

http://binanurani.com/mendapatkan-poin-pahala-yang-sangat-banyak/

22 Maret 2009

Sumber Gambar:

http://i443.photobucket.com/albums/qq152/karno_photo/Amalan-Ringan-Pahala-Besar-.jpg

Hilangnya Pahala Sedekah


Imam Ibnu Katsir mengatakan,"Dalam ayat diatas Allah memberikan informasi bahwa pahala sedekah itu dapat hilang disebabkan karena diungkit-ungkit dan tindakan berupa menyakiti orang yang diberi sedekah setelah sedekah diberikan. Jadi, dosa mengungkit-ungkit dan menyakiti itu menyebabkan hilangnya pahala sedekah."

Beliau kemudian berkata,"Artinya janganlah kalian membatalkan pahala sedekah kalian dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya, sebagaimana tidak bernilainya sedekah orang riya. Orang yang riya adalah yang menampakkan sikap dihadapan orang lain bahwa dia ikhlas dalam beramal, padahal maksud sebenarnya adalah agar dia dipuji oleh orang lain atau agar tenar dengan sifat-sifat terpuji sehingga banyak orang yang mengagumi. Atau agar disebut sebagai orang dermawan dan maksud-maksud keduniawian lainnya. Orang yang riya tidak memiliki perhatian untuk taat kepada Allah, mencari ridha-Nya dan mengharap pahala-Nya yang berlimpah. Oleh karena itu, Allah berfirman yang artinya, "Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir." (QS. Al-Baqarah:164).

Imam Ibnu Katsir juga menambahkan "Hujan tersebut meninggalkan batu besar tadi dalam keadaan kering mengkilat tanpa ada satupun debu diatasnya, bahkan seluruh debunya hilang. Demikianlah amal orang-orang yang riya, padahal amal tersebut hilang dan lenyap di sisi Allah meskipun terlihat memiliki amal dalam pandangan manusia. Namun amal tersebut tidaklah lebih bagaikan debu." (Tafsir Ibnu Katsir 1/246).

Dalam tafsirnya, Ibnu As-Sa"di mengatakan"Karena sifat kasih sayang dan lemah lembut yang Allah miliki, Allah melarang hamba-hamba-Nya menghapus pahala sedekah mereka dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya. Sehingga dalam ayat ini terdapat dalil bahwa menyakiti dan mengungkit-ungkit suatu pemberian itu akan menyebabkan batalnya pahala suatu sedekah. Ayat diatas juga dapat dijadikan dalil bahwa amal kejelekan dapat menghapus amal kebaikan. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, "Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak menghapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (Al-Hujurat:2).

Sebagaimana kebaikan itu dapat menghilangkan kejelekan, maka amal kejelekan pun dapat menghapus amal kebaikan yang semisal dengannya. Ayat di atas ditambah dengan ayat lain yang artinya, "Dan janganlah kamu merusak amal-amalanmu."(QS. Muhammad:33). Ayat ini merupakan dalil yang berisi anjuran untuk menyempurnakan dan menjaga amal dari segala sesuatu yang merusaknya agar amal tersebut tidak hilang sia-sia.

Kemudian beliau mengatakan maksudnya meskipun kalian pada awalnya bermaksud bersedekah dengan mengharap wajah Allah, namun gangguan dan mengungkit-ungkit itu tetap membatalkan pahala amal kalian bagaikan amal orang yang pamer, orang yang tidak menginginkan dengan amalnya itu keridhaan dari Allah dan kenikmatan di akhirat.

Amal karena riya tidaklah disangsikan adalah amal yang tertolak sejak awalnya, karena syarat diterimanya amal adalah dimaksudkan untuk mengharap ridha Allah semata. Sedangkan amal orang yang riya pada hakikatnya, adalah beramal untuk manusia bukan untuk Allah. Oleh karena itu, segala amalnya akan percuma dan usahanya sia-sia.

Permisalan yang tepat untuk orang ini, adalah batu keras dan mengkilat. Di atas batu tersebut terdapat debu, kemudian turunlah hujan yang deras sehingga tidak tersisa satupun debu diatasnya. Demikianlah permisalan orang yang beramal karena riya. Hatinya keras dan kasar bagaikan batu. Sedangkan sedekah yang dia lakukan atau amal shalihnya yang lain, laksana debu diatas sebuah batu.

Orang yang bodoh disamakan dengan keadaan batu itu. Ia akan beranggapan bahwa batu tersebut adalah tanah subur yang cocok untuk ditanami, akan tetapi ketika keadaan sebenarnya dari batu terungkap dengan hilangnya debu tersebut, maka nyata sudah bahwa amal orang tadi adalah tak ubahnya dengan fatamorgana. Sesungguhnya hatinya tidaklah cocok untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman-tanaman. Bahkan riya yang ada dalam drinya serta keinginan-keinginan tercela lain, mencegah untuk dapat mengambil manfaat dengan amal yang dilakukan.

Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa mereka tidak mampu memanfaatkan sedikitpun amal yang telah mereka lakukan. Hal ini dikarenakan, mereka meletakkan amal tidak apada tempatnya dan menjadikan amal tersebut untuk makhluk yang semisal dengan mereka, yang tidak dapat mengatur bahaya dan manfaat untuk mereka.

Mereka telah berpaling dari beribadah kepada Dzat yang ibadah tersebut mampu mendatangkan manfaat untuk mereka sendiri. Oleh karenanya, Allah palingkan hati mereka dari hidayah. Mengingat hal tersebut, Allah mengakhiri ayat diatas denagn firmannya, yang artinya,"Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Lihat tafsir As-Sa"di,hal 113-114)

Pesan yang Terkandung

1. Amal kejelekan mampu membatalkan pahala amal kebaikan.

2. Allah menganjurkan orang-orang yang beriman untuk menjaga dan menyempurnakan amal dari segala hal yang mampu merusaknya.

3. Mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti orang yang diberi sedekah dan riya, merupakan penyebab terhapusnya pahala sedekah.

4. Orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti orang beriman, dan orang yang pamer adalah orang yang dekat dengan kekafiran atau kufur denagn nikmat yang Allah berikan. Wallahu a"lam.

Sumber:

Majalah Swaraquran Edisi N0. 3 Tahun ke-6, hal 16-19.

http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/02/17/hilangnya-pahala-sedekah/, dalam :

http://www.pengusahamuslim.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/172-hilangnya-pahala-sedekah.html

26 Septembet 2008

Sumber Gambar:

http://wb7.itrademarket.com/pdimage/09/1023109_resizeofinvestasipahala.jpg

Multi Level Pahala

Tahukah kita jika dalam dunia bisnis ada sistem Multi Level Marketing (MLM)? Maka di sisi Allah, kita pun memiliki peluang untuk mengikuti sebuah sistem yang kurang lebih sama dengan MLM tersebut. Apakah itu?

Sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu ingat bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk beribadah dan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Bukan semata untuk mengejar pahala, namun anggap saja pengetahuan kita tentang pahala ini adalah iming-iming 'bonus' dari Allah SWT agar kita lebih bersemangat dalam menjalankan perintahNya.

Lalu, apakah itu yang katanya sama dengan MLM? Ia adalah yang disebut dengan MLP, atau Multi Level Pahala. Apakah MLP? Pasti semua pernah mendengar bahwa ada 3 amalan manusia yang pahalanya tidak akan terputus hingga yaumul akhir. Ya, ternyata 3 amalan inilah yang termasuk ke dalam sistem MLP atau Multi Level Pahala. Kok bisa?

Mari kita tengok kembali ilmu tentang 3 amalan manusia yang pahalanya akan terus mengalir hingga yaumul akhir. Pertama, ilmu yang bermanfaat. Seseorang yang berilmu, jika dia mengamalkan dan 'menurunkan' ilmu yang dimilikinya kepada orang lain, ketika dia meninggal, maka ia akan tetap menerima pahala dari ilmu yang pernah diamalkannya tersebut.

Contoh, si A pandai berhitung, lalu ia mengajar orang lain cara berhitung. Jika orang yang diajarinya itu mengamalkan ilmunya (berhitung), maka dari amal orang itu, si A mendapatkan pahala secara tidak langsung dari sisi Allah SWT. Lalu, orang itu mengajari orang lain berhitung, dan seterusnya, hingga turun temurun dan tak terhitung lagi jumlah orang yang belajar berhitung dari 'murid-murid' si A.

Bayangkan para ulama jaman dahulu yang mengajari murid-muridnya mengaji dan sebagainya, hingga sekarang ilmu tersebut sampai kepada kita lewat downline-downline mereka. Tak dapat dibayangkan sudah berapa banyak pahala yang para ulama tersebut dapatkan dari ilmu mereka yang bermanfaat dan diamalkan hingga turun temurun itu.

Itulah mengapa ilmu yang bermanfaat dapat menjadi sebuah peluang bagi kita untuk mendapatkan Multi Level Pahala dari sisi Allah SWT. Namun ingat, masalah pahala adalah mutlak Allah yang menentukan, niat kita tetaplah harus murni karena Allah dan beribadah kepadaNya semata.

Kedua, amal jariyah. Apabila kita ikut 'menyumbangkan' sesuatu untuk membangun sarana dan prasarana demi kepentingan agama, maka pahala dari amalan tersebut akan terus mengalir hingga yaumuddiin. Mengapa?

Misalkan kita mewakafkan sepetak tanah untuk membangun sebuah mesjid. Sedikit atau banyak, besar atau kecil. Tatkala mesjid itu dipergunakan oleh orang-orang untuk shalat, maka pahalanya akan mengalir terus kepada kita. Pun, ketika kita sudah tidak ada di dunia ini lagi.

Ketiga, anak yang shaleh. Siapa yang tidak menginginkan anak yang shaleh? Ketika di dunia, anak yang shaleh akan senantiasa berusaha membahagiakan hati orangtuanya. Anak yang shaleh akan senantiasa berusaha untuk menghindari dari menyakiti hati kedua orangtuanya. Anak yang shaleh, akan meletakkan kebahagiaan kedua orangtuanya di atas kebahagiaan dirinya sendiri. Anak yang shaleh, setelah kedua orangtuanya meninggal, akan selalu mendo'akan kebahagiaan orangtuanya di sisiNya.

Berbahagialah para orangtua yang memiliki anak yang shaleh, yang dapat membahagiakan mereka di saat mereka tua, yang dapat memelihara mereka di saat mereka renta, yang dapat menentramkan hati mereka di saat usia mereka senja. Berbahagialah para orangtua, yang memiliki anak yang selalu menjaga hati dan perasaan kedua orangtuanya. Berbahagialah para orangtua, yang berhasil mendidik dan melahirkan penerus di dunia yang akan selalu mendo'akan mereka ketika mereka sudah berada di alam kubur hingga akhir jaman. Karena anak yang shaleh, juga akan melahirkan anak-anak yang shaleh, dan seterusnya, yang tidak akan terputus dari rahmat dan cinta Allah SWT.

Semoga, kita semua dapat memelihara ketiga amalan di atas. Aamiin.

Sumber:
Meyla Farid
http://kotasantri.com/pelangi/jurnal/2009/03/23/multi-level-pahala
23 Maret 2009

Pahala yang Abadi

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan (orang tuanya).”
Sungguh sangat luar biasa kandungan hadits tersebut, yang mensiratkan bahwa meskipun usia manusia itu terbatas, akan tetapi bisa mendapatkan pahala yang abadi dan tanpa batas, disebabkan oleh amal perbuatannya yang baik. Salah satunya adalah shadaqah jariyah atau wakaf, baik dalam bentuk wakaf benda yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, atau benda yang bergerak, seperti kendaraan atau wakaf uang atau yang lebih dikenal dengan “wakaf an-Nuqud” atau “cash wakaf”. Kenapa pahala wakaf itu bersifat abadi? Karena orang yang berwakaf (wakif) telah merelakan harta yang diwakafkannya itu, bukan untuk kepentingan dirinya secara fishik material, akan tetapi untuk kepentingan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah SWT. Secara sadar dan sengaja, orang yang berwakaf telah melepaskan kepemilikannya (milkul adamiey) dan kepemilikannya langsung diberikan kepada Allah SWT (milk-Allah).

Sejarah dakwah telah membuktikan, bahwa wakaf telah berperan besar dalam membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan usaha-usaha sosial lainnya. Dan khusus mengenaik wakaf uang, banyak sasaran yang dapat dicapai, seperti dikemukakan oleh A.A. Mannan, yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh, antara lain sebagai berikut:

1. Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf.
2. Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk kebaikan-kebaikan yang berkaitan dengan keluarga.
3. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.
5. Menciptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.
6. Membantu pengembangan Social Capital Market.
7. Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Karena itu, mari kita sambut pahala yang abadi ini dengan mewakafkan sebagian dari harta yang kita miliki. Semoga. (zar)

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Sumber :
Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
(Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional)
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/456-pahala-yang-abadi.html
15 April 2008

Pahala Orang Yang Syahid Berperang di Jalan Allah SWT

Assalamua'alaikum

Soal:

Ana mau tanya ustad,apakah sama pahala orang yang syahid karena berperang di jalan Allah SWT dengan syahid selain berperang di jalan Allah SWT Jazzakumullah khoir.

Wassalamua'alaikum

"allais"


Jawab:


بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد؛

Wa’alaikum salam

Bisa sama bisa juga tidak. Jika yang syahid tadi benar-benar ikhlas dalam berjihad, dan memenuhi semua syarat jihad fi sabilillah, maka ia akan mendapat pahala yang sangat besar.

Dengan mengingat, bahwa jihad tidak hanya dengan berperang, tapi bisa dengan menegakkan hujjah terhadap Ahlul Batil lewat Al Qur’an, seperti yang dilakukan oleh para ulama dan thullaabul ’ilm – lihat: Al Furqan: 52 dan At Taubah: 122.

Namun bisa juga orang yang tidak berangkat ke medan jihad mendapatkan pahala yang sama dengan mereka yang berangkat, yaitu bila mereka tidak berperang karena udzur yang syar’i.

Dalam hadits shahih disebutkan:

”Inna bil madinati aqwaamun maa qatha’tum waadiyan walaa sirtum masieran illaa wa kaanuu ma’akum; habasahumul ’udzr”. Artinya: Sesungguhnya di Kota Madinah ada sejumlah orang yang kemana pun kalian menyusuri lembah dan menempuh perjalanan, (pahala) mereka menyertai kalian; (karena) mereka terhalang oleh udzur.

Nabi menyampaikan hadits ini ketika beliau sedang dalam perjalanan jihadnya bersama para sahabat, dan ini menunjukkan bahwa orang yang tidak syahid di medan perang bisa mendapat pahala mereka yang syahid di medan perang jika mereka mencita-citakan untuk berjihad dan syahid, namun terhalang oleh udzur syar’i, seperti tidak ada kendaraan, tidak bisa mencapai medan jihad, atau karena belum memenuhi syarat-syarat jihad. Tentu mereka yang akhirnya bisa berangkat tetap memiliki kelebihan dari pada yang sekedar mencita-citakan dan belum berangkat, yaitu Allah mencatat bekas-bekas amalan mereka. Sebagaimana dalam surat Yaasien ayat 12, dan At Taubah: 120-121. Dan ini semua harus dipelajari terlebih dahulu, karena jihad adalah ibadah yang juga memiliki syarat-syarat agar diterima Allah. Kalau lah ada seseorang terbunuh di medan perang, kita tidak boleh menyebutnya syahid sebelum memastikan bahwa dia ikhlas dalam perangnya, dan peperangan tersebut tergolong jihad secara syar’i, dan orang tersebut telah memenuhi syarat-syarat jihad. Kalau tidak, maka itu seperti orang yang shalat dengan khusyu’ dan sempurna gerakan maupun bacaannya, tapi dia belum bersuci, atau shalat di luar waktu, atau meninggalkan syarat-syarat sah shalat lainnya.

Tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tadi adalah ’shalat’ yang syar’i, alias dia tidak dibilang telah ’shalat’ bukan?

Begitu pula dengan jihad, tidak semua jihad bentuknya perang, dan tidak semua perang berarti jihad. Mudah-mudahan antum mendapat pencerahan, wabillaahit taufieq.

(Dijawab oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc)


Sumber :

http://www.muslimdaily.net/konsultasi/4073/pahala-orang-yang-syahid-berperang-di-jalan-allah-swt

11 September 2009

Tidak Bisa Ibadah Tapi Dapat Pahala Ibadah

Sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا

Artinya: “Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” [HR. Bukhari]

Ini adalah sebuah nikmat yang besar yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman. Yaitu jika seorang hamba terbiasa melakukan sebuah amal ibadah sunnah secara kontinu, kemudian suatu kala ia terhalang untuk melakukannya dikarenakan sakit atau safar, maka pada saat itu ia mendapat pahala ibadah tersebut secara utuh (!!)

Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa jika hamba-Nya tersebut tidak memiliki udzur (halangan) ia akan melakukan ibadah tersebut. Dalam hal ini, secara khusus untuk orang sakit, Allah memberi pahala karena niat orang tersebut. Selain itu juga secara umum, orang tersebut bisa mendapatkan pahala karena telah menunaikan kewajibannya untuk bersabar menghadapi sakitnya, bahkan pahalanya lebih sempurna jika ia ridha dan bersyukur dalam menghadapinya serta merendahkan diri terhadap Allah Ta’ala.

Demikian pula seorang musafir, ia mendapatkan pahala atas amal-amal kebaikan yang ia lakukan saat dalam perjalanan. Semisal, memberi pengajian, nasihat, atau bimbingan kepada orang lain dalam hal agama ataupun dalam masalah duniawi. Secara khusus juga, seorang musafir diberi pahala jika perjalanan yang ia tempuh dalam rangka kebaikan. Seperti safar dalam rangka jihad, haji, umroh atau semisalnya.

Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang beribadah namun terhalang untuk melakukannya dengan sempurna karena suatu udzur. Maka Allah Ta’ala akan menyempurnakan pahala bagi orang tersebut dikarenakan niatnya. Karena uzur yang membuatnya terhalang untuk melakukan ibadah dengan sempurna dapat dikatakan sebagai salah satu jenis penyakit dalam hadits ini. Wallahu’alam.

Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang memiliki niat untuk melakukan amalan yang baik, namun ia terhalang untuk melakukannya karena ia melakukan amalan lain yang lebih baik dari amalan pertama. Dan orang tersebut tidak dapat melakukan kedua amalan tersebut semuanya (harus memilih salah satu). Maka dalam kondisi ini, ia lebih patut untuk diberi pahala yang lebih besar oleh Allah Ta’ala. Namun jika kegiatan lain tersebut tingkat kebaikannya setara dengan kegiatan pertama, maka sungguh karunia Allah Ta’ala sangatlah besar.

[Diterjemahkan dari syarah hadits no.30 dari kitab Bahjatul Qulubil Abrar Wa Qurratu A’yunil Akhyaar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullahuta’ala]

Sumber:

Yulian Purnama

http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=323

27 Maret 2009

Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]

Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ

(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.

Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa

Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.

Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ

(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.

Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]

Dalam hadits yang lain:

وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش

(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]

Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]

Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:

- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.

- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]

Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.

Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ

(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]

Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:

1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]

2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut

Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…

Sumber :

Al Ustadz Qomar ZA, Lc

http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1347, dalam :

http://darussunnah.or.id/artikel-islam/fiqih/awas-perkara-pembatal-pahala-puasa-kita/

11 September 2008